BAB I
PENDAHULUAN
Selama ini, mungkin kita hanya mengetahui tokoh-tokoh ekonomi dunia
yang berasal dari barat saja. Memang, Negara Barat adalah poros segala macam
aktivitas dan salah satunya aktivitas ekonomi. Negara-negara lain banyak yang
mengadopsi teori-teori ekonomi yang berasal dari barat. Tentu saja karena barat
dinilai melahirkan tokoh-tokoh ekonomi yang terkenal dengan pemikirannya yang
ekstrem, seperti Adam Smith, David Ricardo, Irving Fisher, dll.
Padahal sejarah membuktikan bahwa Ilmuwan muslim adalah ilmuwan
yang sangat banyak menulis masalah ekonomi. Mereka tidak saja menulis dan
mengkaji ekonomi secara normatif dalam kitab fikih, tetapi juga
secara empiris dan ilmiah dengan metodologi yang sistimatis menganalisa masalah-masalah
ekonomi. Salah satu intelektual muslim yang paling terkemuka dan paling banyak
pemikirannya tentang ekonomi adalah Al-Ghazali (1058-1111) Ibnu Khaldun.
(1332-1406). Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun
adalah ilmuwan muslim yang memiliki banyak pemikiran dalam berbagai bidang,
seperti ekonomi, politik dan kebudayaan. Salah satu pemikiran Al-Ghazali Ibnu Khaldun yang sangat menonjol dan amat
penting untuk dibahas adalah pemikiran mereka tentang ekonomi. Pentingnya
pembahasan pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun tentang ekonomi karena
pemikiran mereka memiliki signifikansi yang besar bagi pengembangan ekonomi
Islam ke depan.
Makalah saya ini hanya membahas tentang pemikiran ekonomi dua tokoh
muslim, yaitu Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun. Teori-teori mereka tentang ekonomi
dan perbandingan pemikiran antara mereka berdua yang saya uraikan dalam makalah
ini.
BAB II
PEMBAHASAN
Teori
A.
Al-Ghazali
Pemikiran sosio ekonomi Al-Ghazali berakar dari sebuah konsep yang
dia sebut sebagai “fungsi kesejahteraan sosial”. Dari konsep ini
kemudian lahirlah istilah masalih (utilitas, manfaat)
danmafasid (disutilitas, kerusakan) dalam meningktakan kesejahteraan
sosial. Menurut Al-Ghazali, kesejahteraan suatu masyarakat hanya akan terwujud
jika memelihara lima tujuan dasar, yaitu agama, jiwa, akal, harta, dan
keturunan. Selain itu, Al-Ghazali melihat perkembangan ekonomi sebagai bagian dari tugas-tugas kewajiban sosial (fard
alkifayah) yang sudah ditetapkan Allah : jika hal-hal ini tidak dipenuhi,
kehidupan duia akan runtuh dan kemanusia akan binasa.
Namun demikian, Al-Ghazali menyadari bahwa kebutuhan-kebutuhan
dasar ini demikian cenderung fleksibel mengikuti waktu dan tempat dan dapat
mencakup bahkan kebutuhan-kebutuhan sosiopskologis.
Berdasarkan literatur yang membahas wawasan dan pemikiran
sosio-ekonomi Al-Ghazali, dapat diidentifikasi beberapa konsep dan prinsip
ekonomi spesifik. Mayoritas pembahasan Al-Ghazali mengenai berbagai persoalan
ekonomi terdapat dalam kitab Ihya ‘Ulumu al-Dian. Beberapa tema
ekonomi yang dapat diangkat dari pemikiran Al-Ghazali ini antara lain mencakup
pertukaran sukarela dan evolusi pasar, aktivitas produksi, konsumsi, evolusi
uang, serta peran negara dan keuangan publik.[1]
1). Evolusi Pasar
Al-Ghazali juga mengemukakan secara detail tentang proses
terbentuknya “pasar” secara alamiah. Pasar terbentuk karena adanya dorongan
untuk saling memenuhi kebutuhan. Al-Ghazali menggunakan istilah pandai besi
(blacksmiths), tukang kayu (carpenters), dan petani (farmers) untuk saling
bertukar kepemilikan demi memenuhi kebutuhan masing-masing. Secara alamiah
akan terbentuk suatu tempat yang disebut “pasar” untuk saling bertukar jika
kebutuhan masing-masing berbeda. Al-Ghazali kemudian berpendapat bahwa dengan
alasan perdagangan (tukar-menukar) maka akan terjadi perpindahan barang
dagangan dari satu tempat ke tempat lain. Adapun motif utama di balik aktivitas
ini adalah untuk mengumpulkan modal dan keuntungan.
2). Panawaran dan Permintaan
Dalam menyajikan penjabaran tentang peranan aktivitas perdagangan
dan timbulnya pasar yang harganya bergerak, Al-Ghazali menyebutkan hal demikian
sangat tergantung kekuatan permintaan dan penawaran. Sepanjang tulisannya, ia
berbicara mengenai “harga yang berlaku, seperti yang ditentukan oleh
praktik-praktik pasar”, sebuah konsep yang kemudian dikenal
sebagai al-tsaman al-adil di kalangan ilmuan muslim
atau equilibrium price di kalangan ilmuwan Eropa kontemporer.
Al-Ghazali juga memperkenal teori permintaan dan penawaran melalui
ilustrasi : jika petani tidak mendapatkan pembeli, ia akan menjualnya pada
harga yang lebih murah, dan harga dapat diturunkan dengan menambah jumlah
barang di pasar. Di samping itu, ia juga memperkenalkan elastisitas permintaan,
ia mengidentifikasi permintaan produk makanan adalah inelastis, karena makanan
adalah kebutuhan pokok. Oleh karena dalam perdagangan makanan motif mencari
keuntungan yang tinggi harus diminimalisir, jika ingin mendapatkan keuntungan
tinggi dari perdagangan, selayaknya dicari barang-barang yang bukan merupakan
kebutuhan pokok.
Berkaitan dengan itu, Al-Ghazali menunjuk pada kurva penawaran yang
ber-slope positif ketika menyatakan bahwa jika petani tidak mendapatkan
pembeli bagi produk-produknya, ia akan menjualnya pada harga yang sangat
rendah. Pemahamannya tentang kekuatan pasar terlihat jelas ketika membicarakan
harga makanan yang tinggi, ia menyatakan bahwa harga tersebut harus didorong ke
bawah dengan menurunkan permintaan yang berarti menggeser kurva permintaan ke
kiri.
3). Harga dan Laba
Dalam pandangan Al-Ghazali, pengurangan marjin keuntungan dengan
mengurangi harga akan menyebabkan peningkatan penjualan, dan karenanya terjadi
peningkatan laba. Dari sini terlihat jelas bahwa Al-Ghazali mengantongi
wawasan tentang konsep elastisitas permintaan. Al-Ghazali juga nampaknya begitu
mengerti tentang ‘price-inelastic’ demand. Hal ini terlihat pada anjurannya
untuk tidak mengambil keuntungan yang tinggi dalam perdagangan barang-barang
kebutuhan dasar manusia seperti makanan. Ia menyatakan bahwa karena laba
merupakan “kelebihan”, laba tersebut pada umumnya harus dicari melalui
barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan dasar.
Berkaitan dengan hal ini, ia menyatakan bahwa laba normal
seharusnya berkisar antara 5 sampai 10 persen dari harga barang. Lebih jauh, ia
menekankan bahwa penjual seharusnya didorong oleh “laba” yang akan diperoleh
dari pasar yang “hakiki”, yakni akhirat.
4). Evolusi Uang
Uang diciptakan untuk memfasilitasi pertukaran dalam transaksi
ekonomi. Al-Ghazali sangat memahami fungsi uang sebagai alat pertukaran (medium
of exchange). Tukar-menukar barang dan jasa tidak akan efektif jika hanya
mengandalkan sistem barter. Di sinilah manfaat ciptaan Allah bernama Dinar dan
Dirham yang memiliki nilai intrinsic dan dapat digunakan sebagai alat
pertukaran. Al-Ghazali mengatakan “kepemilikan uang (dinar dan dirham)
tidak bermanfaat kecuali jika digunakan sebagai alat pertukaran barang dan
jasa.”[2]
Al-Ghazali menilai bahwa sistem barter memiliki kelemahan, antara
lain :
·
Kurang
memiliki angka penyebut yang sama (lack of common denominator)
·
Barang
tidak dapat dibagi-bagi (indivisibility of goods)
·
Keharusan
adanya dua keinginan yang sama (double coincidence of wants).
Selain itu, menurut Al-Ghazali, uang tidak mempunyai harga, namun
dapat merefleksikan harga semua barang atau jasa. Semua barang dan jasa akan
dapat dinilai atau diukur masing-masing dengan uang. Ibarat cermin, semua jenis
benda yang dihadapkan pada sebuah cermin, maka cermin tersebut akan dapat
memantulkan gambar benda yang ada di depannya. Demikian juga dengan uang, semua
benda atau produk yang dihadapkan dengannya akan dapat dinilai berapa
masing-masing harganya. Dengan demikian uang dapat digunakan sebagai satuan
unit penilai semua barang dan jasa (unit of account). Uang tidak hanya
berfungsi sebagai alat pertukaran tapi juga sebagai pengukur nilai (measure of
value). Al-Ghazali mengingatkan supaya tidak menggunakan uang dalam praktik
riba seperti dalam perkataannya:
“jika seseorang memperdagangkan dinar dan dirham untuk mendapatkan dinar dan dirham lagi, ia menjadikan dinar dan dirham sebagai tujuannya. Hal ini berlawanan dengan fungsi dinar dan dirham. Uang tidak diciptakan untuk menghasilkan uang. Melakukan hal ini merupakan pelanggaran. Dinar dan dirham adalah alat untuk mendapatkan barang-barang lainnya. Mereka tidak dimaksudkan bagi mereka sendiri.”
“jika seseorang memperdagangkan dinar dan dirham untuk mendapatkan dinar dan dirham lagi, ia menjadikan dinar dan dirham sebagai tujuannya. Hal ini berlawanan dengan fungsi dinar dan dirham. Uang tidak diciptakan untuk menghasilkan uang. Melakukan hal ini merupakan pelanggaran. Dinar dan dirham adalah alat untuk mendapatkan barang-barang lainnya. Mereka tidak dimaksudkan bagi mereka sendiri.”
5). Keuangan Publik
Al-Ghazali memberikan penjelasan yang rinci mengenai peran dan
fungsi keuangan publik. Ia memperhatikan kedua sisi anggaran, baik sisi
pendapatan maupun sisi pengeluaran. Ia menyarankan agar dalm
memanfaatkan pendapatan negara, negara harus bersifat fleksibel yang
berlandskan kesejahteraan. Ia juga mengusulkan bahwa jika pengeluaran publik
bisa memberikan kebaikan sosial yang lebih banyak, penguasa dapat memumgut
pajak baru. Ia mengatakan:
”Seseorang tidak boleh
menafikan bolehnya penguasa untuk meminjam dari rakyat bila kebutuhan negara
menuntutnya. Namun demikian, pertanyaannya adalah: jika penguasa tidak
mengantisipasi pendapatan dalam Baitul Mal yang dapat melebihi apa yang
dibutuhkan bagi tentara dan pejabat publik lainnya, maka atas dasar apa
dana-dana itu dapat dipinjam?
Penggambaran fungsional dari pengeluaran publik yang
direkomendasikan al-Ghazali bersifat agak luas dan longgar, yakni penegakan
keadilan sosio-ekonomi, keamanan dan stabilitas negara, serta pengembangan
suatu masyarakat yang makmur. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Al-Ghazali
mengakui ”konsumsi bersama” dan aspek spill-over dari barang-barang
publik. Selain dari apa yang telah diutarakan mengenai bagaimana
menciptakan kondisi-kondisi tersebut, dapat dikatakan walaupun memilih pembagian
sukarela sebagai suatu cara untuk meningkatkan keadilan sosio-ekonomi,
Al-Ghazali membolehkan intervensi negara pilihan bila perlu, untuk
mengeliminasi kemiskinan dan kesukaran yang meluas.
Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun adalah raksasa intelektual paling terkemuka di dunia.
Ia bukan saja Bapak sosiologi tetapi juga Bapak ilmu Ekonomi, karena
banyak teori ekonominya yang jauh mendahului Adam Smith dan Ricardo. Artinya,
ia lebih dari tiga abad mendahului para pemikir Barat modern
tersebut. Muhammad Hilmi Murad telah menulis sebuah karya ilmiah
berjudul Abul Iqtishad : Ibnu Khaldun. Artinya Bapak Ekonomi :
Ibnu Khaldun. Dalam tulisan tersebut Ibnu Khaldun dibuktikannya secara
ilmiah sebagai penggagas pertama ilmu ekonomi secara empiris. Tulisan ini
menurut Zainab Al-Khudairi, disampaikannya pada Simposium tentang Ibnu
Khaldun di Mesir 1978.
Sebelum Ibnu Khaldun, kajian-kajian ekonomi di dunia Barat masih
bersifat normatif, adakalanya dikaji dari perspektif hukum, moral
dan adapula dari perspektif filsafat. Karya-karya tentang ekonomi oleh para
imuwan Barat, seperti ilmuwan Yunani dan zaman Scholastic bercorak tidak
ilmiah, karena pemikir zaman pertengahan tersebut memasukkan kajian ekonomi
dalam kajian moral dan hukum.
Ibn Khaldun membahas aneka ragam masalah ekonomi yang luas,
termasuk ajaran tentang tata nilai, pembagian kerja, sistem harga, hukum
penawaran dan permintaan, konsumsi dan produksi, uang, pembentukan modal,
pertumbuhan penduduk, makro ekonomi dari pajak dan pengeluaran publik, daur
perdagangan, pertanian, indusrtri dan perdagangan, hak milik dan kemakmuran,
dan sebagainya. Ia juga membahas berbagai tahapan yang dilewati masyarakat
dalam perkembangan ekonominya. Kita juga menemukan paham dasar yang menjelma
dalam kurva penawaran tenaga kerja yang kemiringannya berjenjang mundur.[3]
Ibn Khaldun telah menemukan sejumlah besar ide dan pemikiran
ekonomi fundamental, beberapa abad sebelum kelahiran ”resminya” (di Eropa).
Ia menemukan keutamaan dan kebutuhan suatu pembagian kerja sebelum
ditemukan Smith dan prinsip tentang nilai kerja sebelum Ricardo. Ia telah
mengolah suatu teori tentang kependudukan sebelum Malthus dan mendesak akan
peranan negara di dalam perekonomian sebelum Keynes. Bahkan lebih dari itu, Ibn
Khaldun telah menggunakan konsepsi-konsepsi ini untuk membangun suatu
sistem dinamis yang mudah dipahami di mana mekanisme ekonomi telah mengarahkan
kegiatan ekonomi kepada fluktuasi jangka panjang.
Oleh karena besarnya sumbangan Ibnu Khaldun dalam pemikiran
ekonomi, maka Boulakia mengatakan, “Sangat bisa dipertanggung jawabkan
jika kita menyebut Ibnu Khaldun sebagai salah seorang Bapak ilmu ekonomi. Shiddiqi
juga menyimpulkan bahwa Ibn Khaldun secara tepat dapat disebut sebagai ahli
ekonomi Islam terbesar.
Urgensi ekonomi
Ibn Khaldun berpendapat bahwa antara satu fenomena sosial dengan
fenomena lainnya saling berkaitan. Fenomena-fenomena ekonomis, memainkan peran
penting dalam perkembangan kebudayaan, dan mempunyai dampak yang besar atas
eksistensi negara (daulah) dan perkembangannya.
Keterkaitan Ekonomi dan Politik
pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun tentang ekonomi, perlu
dibentangkan di sini pemikiran Ibnu Khaldun tentang keterkaiatan ekonomi dengan
politik (negara) dan aspek-aspek lainnya. Pemikiran Ibnu Khaldun dalam hal ini
dapat dilihat dalam gambar di bawah ini :
Di mana :
• G =
Government (pemerintah) = الملك
• S =
Syari’ah = الشريعة
• W = Wealth
(kekayaan/ekonomi) =الأموال
• N =
Nation (masyarakat/rakyat)= الرجال
•
D = development (pembangunan) = عمارة
•
J = Justice (Keadilan) = العدل
Gambar tersebut dibaca sebagai berikut :
a. Pemerintah (G) tidak dapat
diwujudkan kecuali dengan
implementasi
Syari’ah (S)
b. Syari’ah (S) tidak dapat diwujudkan
kecuali oleh pemerintah/penguasa (G)
c. Pemerintah (G) tidak dapat
memperoleh kekuasaan kecuali oleh masyarakat (N)
d. Pemerintah G) yang kokoh tidak
terwujud tanpa ekonomi (W) yang tangguh
e. Masyarakat (N) tidak dapat
terwujud kecuali dengan ekonomi/kekayaan (W)
f. Kekayaan (W) tidak dapat
diperoleh kecuali dengan pembangunan (D)
g. Pembangunan (D) tidak dapat dicapai kecuali dengan
keadilan (J)
h. Penguasa/pemerintah (G) bertanggung jawab mewujudkan
keadilan (J)
i. Keadilan (J) merupakan mizan yang akan dievaluasi
oleh Allah
Formulasi Ibnu Khaldun menunjukkan gabungan dan hubungan
variabel-variabel yang menjadi prasyarat mewujudkan sebuah negara (G).
Variabel tersebut adalah syari’ah (S), masyarakat (N),
kekayaan (W), pembangunan (D) dan keadilan (J)
Semua variabel tersebut bekerja dalam sebuah lingkaran yang dinamis
saling tergantung dan saling mempengaruhi. Masing-masing variabel tersebut
menjadi faktor yang menentukan kemajuan suatu peradaban atau kemunduran dan
keruntuhannya. Keunikan konsep Ibnu Khaldun ini adalah tidak ada asumsi yang
dianggap tetap (cateris paribus)sebagaimana yang diajarkan dalam
ekonomi konvensional saat ini. Karena memang tidak ada variabel yang tetap
(konstan) . Satu variabel bisa menjadi pemicu, sedangkan variabel yang
lain dapat bereaksi ataupun tidak dalam arah yang sama. Karena kegagalan
di suatu variabel tidak secara otomotis menyebar dan menimbulkan dampak mundur,
tetapi bisa diperbaiki. Bila variabel yang rusak ini bisa diperbaiki,
maka arah bisa berubah menuju kemajuan kembali. Sebaliknya, jika tidak bisa
diperbaiki, maka arah perputaran lingkaran menjadi melawan jarum jam, yaitu
menuju kemunduran..Namun bila variabel lain memberikan reaksi yang sama atas
reaksi pemicu, maka kegagalan itu akan membutuhkan waktu lama untuk
diidentifikasi penyebab dan akibatnya.
Pembagian Kerja (Division of Labour)
Dalam kedudukannya sebagai individu, manusia diciptakan dalam
keadaan lemah dan membutuhkan bantuan orang lain (ta’awun). Manusia bisa
menjadi kuat apabila melebur diri dalam masyarakat. Kesadaran
tentang kelemahan tersebut mendorong manusia untuk
bekerjasama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. “Kesanggupan
seseorang untuk mendapatkan makanannya sendiri, tidak cukup baginya untuk
mempertahankan hidupnya, karena kebutuhannya bukan sekedar makanan. Bahkan
untuk mendapatkan sedikit makanan pun, misalnya kebutuhan gandum untuk makan
satu hari saja, manusia membutuhkan orang lain. Pembuatan gandum, jelas
membutuhkan berbagai pekerjaan (menggiling, mengaduk dan memasak). Tiap-tiap
pekerjaan tersebut membutuhkan alat-alat yang mengharuskan adanya tukang kayu,
tukang besi, tukang membuat periuk dan tukang-tukang lainnya. Andaikan pun
misalnya, ia bisa makan gandum dengan tidak usah digiling lebih dahulu, ia
tetap membutuhkan pekerjaan orang lain, sebab ia baru bisa mendapatkan gandum
yang belum digiling itu setelah dilakukan berbagai pekerjaan, seperti menanam,
menuai dan memisahkan gandum itu dari tangkainya. Bukankah semua proses ini
membutuhkan banyak alat dan pekerjaan.
Jadi, mustahil bagi seseorang untuk melakukan semua
atau sebagian pekerjaan-pekerjaan tersebut. Karena itu merupakan keharusan
baginya untuk mensinergikan (ta’awun) pekerjaannya dengan pekerjaan orang
lain. Manusia membutuhkan kerjasama ekonomi. Dengan kerja sama dan
tolong-menolong dapat dihasilkan bahan makanan yang cukup untuk waktu yang
lebih panjang dan jumlah yang lebih banyak.” Untuk itu diperlukan adanya
pembagaian kerja (division of labour) antara individu dalam masyarakat,
karena manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, pasti tergantung
pada orang lain.
Menurut Ibn Khaldun ada tiga kategori utama dalam kerja:
·
pertanian,
·
perdagangan
dan berbagai kegiatan lainnya.
·
Perdagangan
Selanjutnya Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa para petani menghasilkan
hasil pertanian lebih banyak dari yang mereka butuhkan. Karena itu mereka
menukarkan kelebihan produksi mereka dengan produk-produk lain yang mereka
perlukan. Dari sinilah timbul perdagangan (tijarah). Jadi, pekerjaan
perdagangan ini secara kronologis timbul setelah adanya produksi pertanian
Seperti telah dikemukan, perdagangan adalah upaya memproduktifkan modal
yaitu dengan membeli barang-barang dan berusaha menjualnya dengan harga yang
lebih tinggi. Ini dijalankan, baik dengan menunggu meningkatnya harga pasar
atau dengan membawa (menjual) barang-barang itu ke tempat yang lebih
membutuhkan, sehingga akan didapat harga yang lebih tinggi, atau kemungkinan
lain dengan menjual barang-barang itu atas dasar kredit jangka panjang.
Selanjutnya Ibnu Khaldun, mengatakan bahwa laba perdangangan yang
diperoleh pedagang akan kecil bila modalnya kecil. Tetapi bilamana
kapital besar maka laba tipis pun akan merupakan keuntungan yang
besar”. Perdagangan menurutnya adalah “pembelian dengan harga murah
dan penjualan dengan harga mahal”. Pekerjaan pedagang ini, menurut Ibn
Khaldun, memerlukan prilaku tertentu bagi pelakunya, seperti keramahan
dan pembujukan. Namun para pedagang sering kali melakukan kebiasaan
mengelak dari jawaban yang sebenarnya (dusta), dan pertengkaran”, karena itu
para pedagang selalu mengadukan persoalan sengketa perdagangan kepada
hakim
Ibnu Khaldun juga mengkritik para pejabat dan penguasa yang
melakukan perdagangan. Hal ini agaknya dimaksudkan Ibnu Khaldun agar para
penguasa bisa berlaku fair terhadap para pedagang. Point ini menjadi penting
diterapkan pada masa kini, agar tidak terjadi monopoli proyek oleh penguasa
yang pengusaha.
Perindustrian
Perindustrian, menduduki peringkat budaya yang tinggi dan
lebih kompleks ketimbang pertanian dan perdagangan. Perindustrian umumnya
terdapat pada kawasan-kawasan perkotaan di mana penduduknya lebih mencapai
peringkat kebudaan yang lebih maju. “Di kota-kota kecil jarang terdapat
industri-industri kecuali industri yang sederhana. Apabila
peradaban (civilization) semakin meningkat dan kemewahan semakin
meluas, maka industri benar-benar akan tumbuh dan berkembang dengan
nyata”.Jadi, setiap kali peradaban semakin meningkat maka semakin berkembanglah
industri, karena antara keduanya terjalin hubungan yang erat. Industri-industri
yang kompleks dan beraneka ragam itu membutuhkan banyak pengetahuan,
skills, latihan dan pengalaman. Oleh karena itu individu-individu yang bergerak
di bidang ini harus memiliki spesialisasi. Menurut Ibn Khaldun kegiatan
perindustrian ini membutuhkan bakat praktis dan ilmu pengetahuan”.
Ibn Khaldun mengklasifikasikan industri menjadi dua, pertama, industri
yang memenuhi kebutuhan manusia, baik yang primer maupun yang skunder,
dan kedua industri yang khusus bergerak di bidang ide/pemikiran,
seperti “penulisan naskah buku-buku, penjilidan buku, profesi sebagai penyanyi,
penyusunan puisi, pengajaran ilmu, dan lain-lain sebagainya”. Ibn Khaldun
juga memasukkan profesi tentara dalam klasifikasi yang terakhir ini.
Spesialisasi di bidang industri tidak hanya bergerak secara
individual, tapi juga bercorak regional atau dengan kata lain ada kawasan
tertentu yang memiliki keahlian dalam suatu bidang industri sementara
kawasana lainnya memiliki keahlian dalam industri lainnya sesuai dengan
kesiapan masing-masing kawasan.
Teori harga dan Hukum Supply and Demand
Ibnu Khaldun ternyata telah merumuskan teori harga jauh sebelum
ekonom Barat modern merumsukannya. Sebagaimana disebut di awal Ibnu Khaldun
telah mendahului Adam Smith, Keyneys, Ricardo dan Malthus. Inilah fakta sejarah
yang tak terbantahkan.Ibnu Khaldun, dalam bukunya Al-Muqaddimah menulis
secara khusus satu bab bab yang berjudul “Harga-harga di Kota”. Menurutnya
bila suatu kota berkembang dan populasinya bertambah banyak, rakyatnya semakin
makmur, maka permintaan (supply) terhadap barang-barang semakin meningkat,
akibatnya harga menjadi naik. Dalam hal ini Ibnu Khaldun menulis:
اان المصر اذا كان مستبحرا موفور العمران كثير حاجة الترف توافرت
حينئذ الدواعى على طلب تلك المرافق والاستكثار منها . كل بحسب حاله
فيقصر الموجود منها على الحاجة قصورا بالغا
ويكثرالمستمان لها وهى قليلة في نفسها فتزدحم أهل الأغراض ويبذل أهل الرفه
والترف أثمانها باسراف في الغلاء لحاجاتهم اليها أكثر من غيرهم
فيقع فيها الغلاء كما تراه
Artinya : Sesungguhnya apabila sebuah kota telah makmur dan
berkembang serta penuh dengan kemewahan, maka di situ akan timbul
permintaan (demand) yang besar terhadap barang-barang. Tiap orang membeli
barang-barang mewah itu menurut kesanggupannya. Maka barang-barang menjadi
kurang. Jumlah pembeli meningkat, sementara persediaan menjadi sedikit.
Sedangkan orang kaya berani membayar dengan harga tinggi untuk barang itu,
sebab kebutuhan mereka makin besar. Hal ini akan menyebabkan meningkatnya harga
sebagaimana anda lihat.
Di sini Ibnu Khaldun telah menganalisa secara empiris tentang teori
supply and demand dalam masyarakat. Dalam kalimat di atas Ibnu Khaldun secara
ekspilisit memformulasikan tentang hukum supply dan kaitannya dengan
harga. Menurutnya apabila sebuah kota berkembang pesat, mengalami kemajuan
dan penduduknya padat, maka persediaan bahan makanan pokok melimpah. Hal
ini dapat diartikan penawaran meningkat yang berakibat pada murahnya harga
barang pokok tersebut. Inilah makna tulisan Ibnu Khaldun.
فاذا استبحر المصر وكثر ساكنه رخصت أسعار الضروري من
القوت
Artinya : Apabila sebuah kota berkembang pesat, penduduknya padat,
maka harga-harga kebutuhan pokok (berupa makanan) menjadi murah.
Analisa supply and demand Ibnu Khaldun tersebut dalam ilmu
ekonomi modern, diteorikan sebagai terjadinya peningkatan disposable
incomedari penduduk kota. Naiknya disposible income (kelebihan
pendapatan) dapat menaikkan marginal propersity to consume (kecendrungan
marginal untuk mengkonsumsi) terhadap barang-barang mewah dari setiap penduduk
kota tersebut. Hal ini menciptakan demand baru atau peningkatan
permintaan terhadap barang-barang mewah. Akibatnya harga barang-barang
mewah akan meningkat pula. Adanya kecendrungan tersebut karena
terjadi disposable income penduduk seiring dengan berkembangnya kota.
Inilah teori supply and demand Ibnu Khaldun.
Menurutnya, supply bahan pokok di kota besar jauh lebih besar dari
pada supply bahan pokok penduduk desa (kota kecil). Penduduk kota
besar memiliki supply bahan pokok yang berlimpah yang melebihi
kebutuhannya sehingga harga bahan pokok di kota besar relatif lebih murah.
Sementara itu, supplybahan pokok di desa relatif sedikit, karena itu
orang-orang khawatir kehabisan makanan, sehingga harganya relatif lebih
mahal.
Upah buruh
Ibnu Khaldun juga telah membahas masalah upah buruh dalam
perekonomian. Ia menybut istilah buruh dengan terminologi shina’ah(pekerjaan
di pabrik) sebagaimana dituliskannya dalam Muqaddimah :
ان الصناعة هي ملكة في امر عملي فكري و بكونه عمليا هو جسماني محسوس
والا حوال الجسمانية المحسوسة فنقلها بالمباشرة
Pekerjaan (di pabrik/perusahaan) adalah kemampuan praktis
yang berhubungan dengan keahlian (skills). Dikatakan keahlian praktis karena
berkaitan dengan kerja fisik material, di mana seorang buruh secara langsung
bekerja secara indrawi. Dalam terminologi ekonomi modern, shina’ah
tersebut dikenal dengan istilah employment (ketenaga kerjaan). Orang yang
melaukannya disebut employee atau labour (tenaga kerja atau buruh ).
Keungan public
Jelas menekankan pentingnya peranan perusahaan swastadan negara
dalam pembangunan ekonomi, baginya negara juga faktor penting dalamproduksi.
Melalui pembelanjaannya, negara mampu meningkatkan produksi danmelalui pajaknya
mampu melemahkan produksi. Karena pemerintah membangunpasar terbesar untuk
barang dan jasa yang merupakan sumber utama bagi semuapembangunan, penurunan
dalam belanja negara tidak hanya menyebabkan kegiatanusaha menjadi sepi dan
menurunnya keuntungan, tetapi juga mengakibatkanpenurunan dalam penerimaan
pajak. Semakin besar belanja pemerintah, kemungkinansemakin baik bagi
perekonomian.[4]
BAB III
ANALISIS
Persamaan pemikran Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun
Dalam Teori keuangan public
dan perpajakan, Al-Ghazali memberikan penjelasan yang rinci mengenai peran dan
fungsi keuangan publik. Ia memperhatikan kedua sisi anggaran, baik sisi
pendapatan maupun sisi pengeluaran. Ia menyarankan agar dalm
memanfaatkan pendapatan negara, negara harus bersifat fleksibel yang berlandskan
kesejahteraan. Ia juga mengusulkan bahwa jika pengeluaran publik bisa
memberikan kebaikan sosial yang lebih banyak, penguasa dapat memumgut pajak
baru.Ia mengatakan:
”Seseorang tidak boleh menafikan bolehnya penguasa untuk meminjam
dari rakyat bila kebutuhan negara menuntutnya. Namun demikian, pertanyaannya
adalah: jika penguasa tidak mengantisipasi pendapatan dalam Baitul Mal yang
dapat melebihi apa yang dibutuhkan bagi tentara dan pejabat publik lainnya,
maka atas dasar apa dana-dana itu dapat dipinjam?
Penggambaran fungsional dari pengeluaran publik yang
direkomendasikan al-Ghazali bersifat agak luas dan longgar, yakni penegakan
keadilan sosio-ekonomi, keamanan dan stabilitas negara, serta pengembangan
suatu masyarakat yang makmur. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Al-Ghazali
mengakui ”konsumsi bersama” dan aspek spill-over dari barang-barang
publik. Selain dari apa yang telah diutarakan mengenai bagaimana
menciptakan kondisi-kondisi tersebut, dapat dikatakan walaupun memilih pembagian
sukarela sebagai suatu cara untuk meningkatkan keadilan sosio-ekonomi,
Al-Ghazali membolehkan intervensi negara pilihan bila perlu, untuk
mengeliminasi kemiskinan dan kesukaran yang meluas
Sedangkan Ibnu Khaldun secara jelas menekankan pentingnya
peranan perusahaan swastadan negara dalam pembangunan ekonomi, baginya negara
juga faktor penting dalamproduksi. Melalui pembelanjaannya, negara mampu
meningkatkan produksi danmelalui pajaknya mampu melemahkan produksi. Karena
pemerintah membangunpasar terbesar untuk barang dan jasa yang merupakan sumber
utama bagi semuapembangunan, penurunan dalam belanja negara tidak hanya
menyebabkan kegiatanusaha menjadi sepi dan menurunnya keuntungan, tetapi juga
mengakibatkanpenurunan dalam penerimaan pajak. Semakin besar belanja
pemerintah, kemungkinansemakin baik bagi perekonomian. Belanja tinggi
memungkinkan pemerintah untuk melakukan hal-hal yang dibutuhkan bagi
penduduk dan menjamin stabilitas hukum, peraturan dan politik. Tanpa stabilitas
peraturan dan politik, produsen tidak mempunyai insentif untuk
memproduksi.
Perbedaan pemikran Al-Ghazali dan Ibnu Khaldu
Dari sini terlihat bahwa pemikiran ekonomi Ibnu Khaldun orientasi
substanstifnya adalah ”kepada kepentingan bersama masyarakatlah yang
diutamakan”. Bahkan untuk tercapainya arah dan tujuan dimaksud, Ibnu Khaldun
sangat menekankan terciptanya ”efesiensi sosial”. Artinya bagaimana ekonomi
negara bisa dikelola secara bersama dengan baik dan ketepatgunaan yang tinggi
sehingga kemakmuran dan kesejahteraan dalam arti yang sesungguhnya.
Pemikiran sosio ekonomi Al-Ghazali berakar dari sebuah konsep yang
dia sebut sebagai “fungsi kesejahteraan sosial”.[8]Dari konsep ini
kemudian lahirlah istilah masalih (utilitas, manfaat)
danmafasid (disutilitas, kerusakan) dalam meningktakan kesejahteraan
sosial. Menurut Al-Ghazali, kesejahteraan suatu masyarakat hanya akan terwujud
jika memelihara lima tujuan dasar, yaitu agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan.
Melalui kelima tujuan dasar ini, dia kemudian membagi tiga tingkatan utilitas
individu dan sosial,
yakni daruriat (kebutuhan), hajiat (kesenangan),
dan tahsinat(kemewahan). Selain itu, Al-Ghazali melihat perkembangan
ekonomi sebagai bagian dari tugas-tugas kewajiban sosial (fard al-kifayah) yang
sudah ditetapkan Allah : jika hal-hal ini tidak dipenuhi, kehidupan duia akan
runtuh dan kemanusia akan binasa.
Namun demikian, Al-Ghazali menyadari bahwa kebutuhan-kebutuhan
dasar ini demikian cenderung fleksibel mengikuti waktu dan tempat dan dapat
mencakup bahkan kebutuhan-kebutuhan sosiopskologis.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Ibnu khaldun kita bisa memetik bahwa jauh sebelum Adam smith dan
david Ricardo mengemukakan teori ekonominya, Ibnu kholdun sudah membahas
sebelumnya. Baik tentang perdagangan internasional, teori nilai dan kerja, juga
pajak. Kiranya sebagai bagian dari ummat islam kita perlu mencontoh apa yang
sudah menjadi pemikiran abu al iqtishad ini.
Ibnu Kholdun tidak menilai uang yang banyak merupakan standar kekayaan suatu negara. Baginya standar kekayaan Negara dilihat dari tingkat produktivitas Negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Seperti Al Ghazali melihat uang, uang tidak harus dari emas dan perak. Namun uang yang beredar harus mempunyai cadangan emas/ perak (back up) dimana pemerintah menetapkan satandar satuannya.
Ibnu Kholdun tidak menilai uang yang banyak merupakan standar kekayaan suatu negara. Baginya standar kekayaan Negara dilihat dari tingkat produktivitas Negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Seperti Al Ghazali melihat uang, uang tidak harus dari emas dan perak. Namun uang yang beredar harus mempunyai cadangan emas/ perak (back up) dimana pemerintah menetapkan satandar satuannya.
Sejarah mencatat bahwa banyak ekonom muslim yang memberikan
kontribusi terhadap kelangsungan dan perkembangan pemikiran ekonomi pada
khususnya dan peradaban dunia pada umumnya. Di antaranya adalah Al-Ghazali
(1058-1111 M), dan Ibnu Khaldun (1332-1406 M). Menurut mereka bahwa mekanisme
harga merupakan proses dari adu kekuatan antara penawaran dan permintaan. Namun
demkian, dalam menjawab persoalan tingginya harga cabai di berbagai daerah
Indonesia, mereka beranggapan bahwa harga yang terlalu tinggi merupakan
sikap dharar yang merugikan, terutama bagi konsumen. Sehingga dalam
hal ini pemegang kebijakan ekonomi, pemerintah untuk pro aktif dalam
menyelesaikan persoalanya tingginya harga cabai ini, baik menindak pelaku
distorsi pasar jika terdapat ketidakadilan, ataupun memberikan bantuan,
terutama bagi petani jika faktor utama penyebab tingginya harga adalah alam,
lantaran tinggi intensitas curah hujan.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Makro Islami, Jakarta: PT Raja Grafindo,2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar