Laman

Selasa, 10 Juni 2014

Perbandingan Pemikiran Ekonomi

BAB I
PENDAHULUAN
Selama ini, mungkin kita hanya mengetahui tokoh-tokoh ekonomi dunia yang berasal dari barat saja. Memang, Negara Barat adalah poros segala macam aktivitas dan salah satunya aktivitas ekonomi. Negara-negara lain banyak yang mengadopsi teori-teori ekonomi yang berasal dari barat. Tentu saja karena barat dinilai melahirkan tokoh-tokoh ekonomi yang terkenal dengan pemikirannya yang ekstrem, seperti Adam Smith, David Ricardo, Irving Fisher, dll.
Padahal sejarah membuktikan bahwa Ilmuwan muslim adalah ilmuwan yang sangat banyak menulis masalah ekonomi. Mereka tidak saja menulis dan mengkaji ekonomi   secara normatif dalam kitab fikih, tetapi juga secara empiris dan ilmiah dengan metodologi yang sistimatis menganalisa masalah-masalah ekonomi. Salah satu intelektual muslim yang paling terkemuka dan paling banyak pemikirannya tentang ekonomi adalah  Al-Ghazali (1058-1111) Ibnu Khaldun. (1332-1406).  Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun adalah ilmuwan muslim yang memiliki banyak pemikiran dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, politik dan kebudayaan. Salah satu pemikiran Al-Ghazali  Ibnu Khaldun yang sangat menonjol dan amat penting untuk dibahas adalah pemikiran mereka tentang  ekonomi. Pentingnya pembahasan pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun tentang ekonomi karena pemikiran mereka memiliki signifikansi yang besar bagi pengembangan ekonomi Islam ke depan.
Makalah saya ini hanya membahas tentang pemikiran ekonomi dua tokoh muslim, yaitu Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun. Teori-teori mereka tentang ekonomi dan perbandingan pemikiran antara mereka berdua yang saya uraikan dalam makalah ini.





BAB II
PEMBAHASAN
Teori
A.    Al-Ghazali
Pemikiran sosio ekonomi Al-Ghazali berakar dari sebuah konsep yang dia sebut sebagai “fungsi kesejahteraan sosial”. Dari konsep ini kemudian lahirlah istilah masalih (utilitas, manfaat) danmafasid (disutilitas, kerusakan) dalam meningktakan kesejahteraan sosial. Menurut Al-Ghazali, kesejahteraan suatu masyarakat hanya akan terwujud jika memelihara lima tujuan dasar, yaitu agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Selain itu, Al-Ghazali melihat  perkembangan  ekonomi  sebagai  bagian dari tugas-tugas kewajiban sosial (fard alkifayah) yang sudah ditetapkan Allah : jika hal-hal ini tidak dipenuhi, kehidupan duia akan runtuh dan kemanusia akan binasa.
Namun demikian, Al-Ghazali menyadari bahwa kebutuhan-kebutuhan dasar ini demikian cenderung fleksibel mengikuti waktu dan tempat dan dapat mencakup bahkan kebutuhan-kebutuhan sosiopskologis.
Berdasarkan literatur yang membahas wawasan dan pemikiran sosio-ekonomi Al-Ghazali, dapat diidentifikasi beberapa konsep dan prinsip ekonomi spesifik. Mayoritas pembahasan Al-Ghazali mengenai berbagai persoalan ekonomi terdapat dalam kitab Ihya ‘Ulumu al-Dian. Beberapa tema ekonomi yang dapat diangkat dari pemikiran Al-Ghazali ini antara lain mencakup pertukaran sukarela dan evolusi pasar, aktivitas produksi, konsumsi, evolusi uang, serta peran negara dan keuangan publik.[1]
1). Evolusi Pasar
Al-Ghazali juga mengemukakan secara detail tentang proses terbentuknya “pasar” secara alamiah. Pasar terbentuk karena adanya dorongan untuk saling memenuhi kebutuhan. Al-Ghazali menggunakan istilah pandai besi (blacksmiths), tukang kayu (carpenters), dan petani (farmers) untuk saling bertukar kepemilikan demi memenuhi kebutuhan masing-masing. Secara alamiah akan terbentuk suatu tempat yang disebut “pasar” untuk saling bertukar jika kebutuhan masing-masing berbeda. Al-Ghazali kemudian berpendapat bahwa dengan alasan perdagangan (tukar-menukar) maka akan terjadi perpindahan barang dagangan dari satu tempat ke tempat lain. Adapun motif utama di balik aktivitas ini adalah untuk mengumpulkan modal dan keuntungan.
2). Panawaran dan Permintaan
Dalam menyajikan penjabaran tentang peranan aktivitas perdagangan dan timbulnya pasar yang harganya bergerak, Al-Ghazali menyebutkan hal demikian sangat tergantung kekuatan permintaan dan penawaran. Sepanjang tulisannya, ia berbicara mengenai “harga yang berlaku, seperti yang ditentukan oleh praktik-praktik pasar”, sebuah konsep yang kemudian dikenal sebagai al-tsaman al-adil di kalangan ilmuan muslim atau equilibrium price di kalangan ilmuwan Eropa kontemporer.
Al-Ghazali juga memperkenal teori permintaan dan penawaran melalui ilustrasi : jika petani tidak mendapatkan pembeli, ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah, dan harga dapat diturunkan dengan menambah jumlah barang di pasar. Di samping itu, ia juga memperkenalkan elastisitas permintaan, ia mengidentifikasi permintaan produk makanan adalah inelastis, karena makanan adalah kebutuhan pokok. Oleh karena dalam perdagangan makanan motif mencari keuntungan yang tinggi harus diminimalisir, jika ingin mendapatkan keuntungan tinggi dari perdagangan, selayaknya dicari barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok.
Berkaitan dengan itu, Al-Ghazali menunjuk pada kurva penawaran yang ber-slope positif ketika menyatakan bahwa jika petani tidak mendapatkan pembeli bagi produk-produknya, ia akan menjualnya pada harga yang sangat rendah. Pemahamannya tentang kekuatan pasar terlihat jelas ketika membicarakan harga makanan yang tinggi, ia menyatakan bahwa harga tersebut harus didorong ke bawah dengan menurunkan permintaan yang berarti menggeser kurva permintaan ke kiri.


3). Harga dan Laba
Dalam pandangan Al-Ghazali, pengurangan marjin keuntungan dengan mengurangi harga akan menyebabkan peningkatan penjualan, dan karenanya terjadi peningkatan laba. Dari sini terlihat jelas bahwa Al-Ghazali mengantongi wawasan tentang konsep elastisitas permintaan. Al-Ghazali juga nampaknya begitu mengerti tentang ‘price-inelastic’ demand. Hal ini terlihat pada anjurannya untuk tidak mengambil keuntungan yang tinggi dalam perdagangan barang-barang kebutuhan dasar manusia seperti makanan. Ia menyatakan bahwa karena laba merupakan “kelebihan”, laba tersebut pada umumnya harus dicari melalui barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan dasar.
Berkaitan dengan hal ini, ia menyatakan bahwa laba normal seharusnya berkisar antara 5 sampai 10 persen dari harga barang. Lebih jauh, ia menekankan bahwa penjual seharusnya didorong oleh “laba” yang akan diperoleh dari pasar yang “hakiki”, yakni akhirat.
4). Evolusi Uang
Uang diciptakan untuk memfasilitasi pertukaran dalam transaksi ekonomi. Al-Ghazali sangat memahami fungsi uang sebagai alat pertukaran (medium of exchange). Tukar-menukar barang dan jasa tidak akan efektif jika hanya mengandalkan sistem barter. Di sinilah manfaat ciptaan Allah bernama Dinar dan Dirham yang memiliki nilai intrinsic dan dapat digunakan sebagai alat pertukaran. Al-Ghazali mengatakan “kepemilikan uang (dinar dan dirham) tidak bermanfaat kecuali jika digunakan sebagai alat pertukaran barang dan jasa.”[2]
Al-Ghazali menilai bahwa sistem barter memiliki kelemahan, antara lain :
·         Kurang memiliki angka penyebut yang sama (lack of common denominator)
·         Barang tidak dapat dibagi-bagi (indivisibility of goods)
·         Keharusan adanya dua keinginan yang sama (double coincidence of wants).
Selain itu, menurut Al-Ghazali, uang tidak mempunyai harga, namun dapat merefleksikan harga semua barang atau jasa. Semua barang dan jasa akan dapat dinilai atau diukur masing-masing dengan uang. Ibarat cermin, semua jenis benda yang dihadapkan pada sebuah cermin, maka cermin tersebut akan dapat memantulkan gambar benda yang ada di depannya. Demikian juga dengan uang, semua benda atau produk yang dihadapkan dengannya akan dapat dinilai berapa masing-masing harganya. Dengan demikian uang dapat digunakan sebagai satuan unit penilai semua barang dan jasa (unit of account). Uang tidak hanya berfungsi sebagai alat pertukaran tapi juga sebagai pengukur nilai (measure of value). Al-Ghazali mengingatkan supaya tidak menggunakan uang dalam praktik riba seperti dalam perkataannya:
      “jika seseorang memperdagangkan dinar dan dirham untuk mendapatkan dinar dan dirham lagi, ia menjadikan dinar dan dirham sebagai tujuannya. Hal ini berlawanan dengan fungsi dinar dan dirham. Uang tidak diciptakan untuk menghasilkan uang. Melakukan hal ini merupakan pelanggaran. Dinar dan dirham adalah alat untuk mendapatkan barang-barang lainnya. Mereka tidak dimaksudkan bagi mereka sendiri.”
5). Keuangan Publik
Al-Ghazali memberikan penjelasan yang rinci mengenai peran dan fungsi keuangan publik. Ia memperhatikan kedua sisi anggaran, baik sisi pendapatan maupun sisi pengeluaran. Ia menyarankan agar dalm memanfaatkan pendapatan negara, negara harus bersifat fleksibel yang berlandskan kesejahteraan. Ia juga mengusulkan bahwa jika pengeluaran publik bisa memberikan kebaikan sosial yang lebih banyak, penguasa dapat memumgut pajak baru. Ia mengatakan:
 ”Seseorang tidak boleh menafikan bolehnya penguasa untuk meminjam dari rakyat bila kebutuhan negara menuntutnya. Namun demikian, pertanyaannya adalah: jika penguasa tidak mengantisipasi pendapatan dalam Baitul Mal yang dapat melebihi apa yang dibutuhkan bagi tentara dan pejabat publik lainnya, maka atas dasar apa dana-dana itu dapat dipinjam?
Penggambaran fungsional dari pengeluaran publik yang direkomendasikan al-Ghazali bersifat agak luas dan longgar, yakni penegakan keadilan sosio-ekonomi, keamanan dan stabilitas negara, serta pengembangan suatu masyarakat yang makmur. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Al-Ghazali mengakui ”konsumsi bersama” dan aspek spill-over dari barang-barang publik. Selain dari apa yang telah diutarakan mengenai bagaimana menciptakan kondisi-kondisi tersebut, dapat dikatakan walaupun memilih pembagian sukarela sebagai suatu cara untuk meningkatkan keadilan sosio-ekonomi, Al-Ghazali membolehkan intervensi negara pilihan bila perlu, untuk mengeliminasi kemiskinan dan kesukaran yang meluas.
Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun adalah raksasa intelektual paling terkemuka di dunia. Ia bukan saja Bapak sosiologi tetapi juga Bapak ilmu Ekonomi, karena banyak teori ekonominya yang jauh mendahului Adam Smith dan Ricardo. Artinya, ia  lebih dari tiga abad mendahului para pemikir Barat modern tersebut.  Muhammad Hilmi Murad  telah menulis sebuah karya ilmiah berjudul Abul Iqtishad : Ibnu Khaldun. Artinya Bapak Ekonomi : Ibnu Khaldun. Dalam tulisan tersebut Ibnu Khaldun dibuktikannya secara ilmiah sebagai penggagas pertama ilmu ekonomi secara empiris. Tulisan ini menurut Zainab Al-Khudairi, disampaikannya  pada Simposium tentang Ibnu Khaldun di Mesir 1978.
Sebelum Ibnu Khaldun, kajian-kajian ekonomi di dunia Barat masih bersifat normatif, adakalanya dikaji dari perspektif  hukum, moral  dan adapula dari perspektif filsafat. Karya-karya tentang ekonomi oleh para imuwan Barat, seperti ilmuwan Yunani dan zaman Scholastic bercorak tidak ilmiah, karena pemikir zaman pertengahan tersebut memasukkan kajian ekonomi dalam kajian moral dan hukum.
Ibn Khaldun membahas aneka ragam masalah ekonomi yang luas, termasuk ajaran tentang tata nilai, pembagian kerja, sistem harga, hukum penawaran dan permintaan, konsumsi dan produksi, uang, pembentukan modal, pertumbuhan penduduk, makro ekonomi dari pajak dan pengeluaran publik, daur perdagangan, pertanian, indusrtri dan perdagangan, hak milik dan kemakmuran, dan sebagainya. Ia juga membahas berbagai tahapan yang dilewati masyarakat dalam perkembangan ekonominya. Kita juga menemukan paham dasar yang menjelma dalam kurva penawaran tenaga kerja yang kemiringannya berjenjang mundur.[3]
Ibn Khaldun telah  menemukan sejumlah besar ide dan pemikiran ekonomi fundamental, beberapa abad sebelum kelahiran ”resminya” (di Eropa). Ia  menemukan keutamaan dan kebutuhan suatu pembagian kerja sebelum ditemukan Smith dan prinsip tentang nilai kerja sebelum Ricardo. Ia telah mengolah suatu teori tentang kependudukan sebelum Malthus dan mendesak akan peranan negara di dalam perekonomian sebelum Keynes. Bahkan lebih dari itu, Ibn Khaldun telah menggunakan konsepsi-konsepsi ini untuk  membangun suatu sistem dinamis yang mudah dipahami di mana mekanisme ekonomi telah mengarahkan kegiatan ekonomi kepada fluktuasi jangka panjang.
Oleh karena besarnya sumbangan Ibnu Khaldun dalam pemikiran ekonomi, maka Boulakia mengatakan, “Sangat bisa dipertanggung jawabkan jika kita menyebut Ibnu Khaldun sebagai salah seorang Bapak ilmu ekonomi. Shiddiqi juga menyimpulkan bahwa Ibn Khaldun secara tepat dapat disebut sebagai ahli ekonomi Islam terbesar.
Urgensi ekonomi
Ibn Khaldun berpendapat bahwa antara satu fenomena sosial dengan fenomena lainnya saling berkaitan. Fenomena-fenomena ekonomis, memainkan peran penting dalam perkembangan kebudayaan, dan mempunyai dampak yang besar atas eksistensi negara (daulah) dan perkembangannya.
Keterkaitan Ekonomi dan Politik
pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun tentang ekonomi, perlu dibentangkan di sini pemikiran Ibnu Khaldun tentang keterkaiatan ekonomi dengan politik (negara) dan aspek-aspek lainnya. Pemikiran Ibnu Khaldun dalam hal ini dapat dilihat dalam gambar di bawah ini : 
Di mana :
•          G  = Government (pemerintah) = الملك
•          S  = Syari’ah = الشريعة
•          W = Wealth (kekayaan/ekonomi) =الأموال
•          N  = Nation (masyarakat/rakyat)= الرجال
•          D   = development (pembangunan) = عمارة
•          J   = Justice (Keadilan) =  العدل

Gambar tersebut dibaca sebagai berikut :
a.      Pemerintah (G) tidak dapat diwujudkan kecuali dengan
         implementasi Syari’ah (S)
b.     Syari’ah (S) tidak dapat diwujudkan kecuali oleh pemerintah/penguasa (G)
c.      Pemerintah (G) tidak dapat memperoleh kekuasaan kecuali oleh masyarakat (N)
d.      Pemerintah G) yang kokoh tidak terwujud tanpa ekonomi (W) yang tangguh
e.      Masyarakat (N) tidak dapat terwujud kecuali dengan ekonomi/kekayaan (W)
f.      Kekayaan (W) tidak dapat diperoleh kecuali dengan pembangunan (D)
g.  Pembangunan  (D) tidak dapat dicapai kecuali dengan keadilan (J)
h.   Penguasa/pemerintah (G) bertanggung jawab mewujudkan keadilan (J)
i.   Keadilan (J) merupakan mizan yang akan dievaluasi oleh Allah 
Formulasi Ibnu Khaldun menunjukkan gabungan dan hubungan  variabel-variabel yang menjadi prasyarat mewujudkan sebuah negara (G). Variabel tersebut adalah  syari’ah (S), masyarakat (N),  kekayaan (W), pembangunan (D) dan keadilan (J)
Semua variabel tersebut bekerja dalam sebuah lingkaran yang dinamis saling tergantung dan saling mempengaruhi. Masing-masing variabel tersebut menjadi faktor yang menentukan kemajuan suatu peradaban atau kemunduran dan keruntuhannya. Keunikan konsep Ibnu Khaldun ini adalah tidak ada asumsi yang dianggap tetap (cateris  paribus)sebagaimana yang diajarkan dalam ekonomi konvensional saat ini. Karena memang tidak ada variabel yang tetap (konstan) . Satu variabel bisa menjadi pemicu, sedangkan variabel  yang lain dapat bereaksi  ataupun tidak dalam arah yang sama. Karena kegagalan di suatu variabel tidak secara otomotis menyebar dan menimbulkan dampak mundur, tetapi  bisa diperbaiki. Bila variabel yang rusak ini bisa diperbaiki, maka arah bisa berubah menuju kemajuan kembali. Sebaliknya, jika tidak bisa diperbaiki, maka arah perputaran lingkaran menjadi melawan jarum jam, yaitu menuju kemunduran..Namun bila variabel lain memberikan reaksi yang sama atas reaksi pemicu, maka kegagalan itu akan membutuhkan waktu lama untuk diidentifikasi penyebab dan akibatnya.
Pembagian Kerja (Division of Labour)
Dalam kedudukannya sebagai individu, manusia diciptakan dalam keadaan lemah dan membutuhkan bantuan orang lain (ta’awun). Manusia bisa menjadi kuat apabila  melebur diri  dalam masyarakat. Kesadaran tentang  kelemahan tersebut   mendorong manusia untuk bekerjasama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. “Kesanggupan seseorang untuk mendapatkan makanannya sendiri, tidak cukup baginya untuk mempertahankan hidupnya, karena kebutuhannya bukan sekedar makanan. Bahkan untuk mendapatkan sedikit makanan pun, misalnya kebutuhan gandum untuk makan satu hari saja, manusia membutuhkan orang lain. Pembuatan gandum, jelas membutuhkan berbagai pekerjaan (menggiling, mengaduk dan memasak). Tiap-tiap pekerjaan tersebut membutuhkan alat-alat yang mengharuskan adanya tukang kayu, tukang besi, tukang membuat periuk dan tukang-tukang lainnya. Andaikan pun misalnya, ia bisa makan gandum dengan tidak usah digiling lebih dahulu, ia tetap membutuhkan pekerjaan orang lain, sebab ia baru bisa mendapatkan gandum yang belum digiling itu setelah dilakukan berbagai pekerjaan, seperti menanam, menuai dan memisahkan gandum itu dari tangkainya. Bukankah semua proses ini membutuhkan banyak alat dan pekerjaan.
Jadi,  mustahil bagi seseorang untuk  melakukan semua atau sebagian pekerjaan-pekerjaan tersebut. Karena itu merupakan keharusan baginya untuk mensinergikan (ta’awun)  pekerjaannya dengan pekerjaan orang lain. Manusia membutuhkan kerjasama ekonomi. Dengan kerja sama dan tolong-menolong dapat dihasilkan bahan makanan yang cukup untuk waktu yang lebih panjang dan jumlah yang lebih banyak.” Untuk itu diperlukan adanya pembagaian kerja (division of labour) antara individu dalam masyarakat, karena manusia tidak bisa  memenuhi kebutuhannya sendiri, pasti tergantung pada orang lain.
Menurut Ibn Khaldun ada tiga kategori utama dalam kerja:
·         pertanian,
·         perdagangan dan berbagai kegiatan lainnya.
·         Perdagangan
Selanjutnya Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa para petani menghasilkan hasil pertanian lebih banyak dari yang mereka butuhkan. Karena itu  mereka menukarkan kelebihan produksi mereka dengan produk-produk lain yang mereka perlukan. Dari sinilah timbul perdagangan (tijarah). Jadi, pekerjaan perdagangan ini secara kronologis timbul setelah adanya produksi pertanian Seperti telah dikemukan, perdagangan adalah upaya memproduktifkan  modal yaitu dengan membeli barang-barang dan berusaha menjualnya dengan harga yang lebih tinggi. Ini dijalankan, baik dengan menunggu meningkatnya harga pasar atau dengan membawa (menjual) barang-barang itu ke tempat yang lebih membutuhkan, sehingga akan didapat harga yang lebih tinggi, atau kemungkinan lain dengan menjual barang-barang itu atas dasar kredit jangka panjang.
Selanjutnya Ibnu Khaldun, mengatakan bahwa laba perdangangan yang diperoleh  pedagang akan kecil bila modalnya kecil. Tetapi bilamana kapital besar maka laba tipis pun akan merupakan keuntungan yang besar”. Perdagangan menurutnya  adalah “pembelian dengan harga murah dan penjualan dengan harga mahal”. Pekerjaan pedagang ini, menurut Ibn Khaldun, memerlukan prilaku tertentu bagi pelakunya, seperti  keramahan dan  pembujukan. Namun para pedagang sering kali melakukan kebiasaan mengelak dari jawaban yang sebenarnya (dusta), dan pertengkaran”, karena itu para pedagang selalu mengadukan persoalan sengketa perdagangan kepada hakim 
Ibnu Khaldun juga mengkritik para pejabat dan penguasa yang melakukan perdagangan. Hal ini agaknya dimaksudkan Ibnu Khaldun agar para penguasa bisa berlaku fair terhadap para pedagang. Point ini menjadi penting diterapkan pada masa kini, agar tidak terjadi monopoli proyek oleh penguasa yang pengusaha.
Perindustrian
Perindustrian, menduduki peringkat budaya yang  tinggi dan lebih kompleks ketimbang pertanian dan perdagangan. Perindustrian umumnya terdapat pada kawasan-kawasan perkotaan di mana penduduknya lebih mencapai peringkat kebudaan yang lebih maju. “Di kota-kota kecil jarang terdapat industri-industri  kecuali industri yang sederhana. Apabila peradaban (civilization) semakin meningkat dan kemewahan semakin meluas, maka industri benar-benar akan tumbuh dan berkembang dengan nyata”.Jadi, setiap kali peradaban semakin meningkat maka semakin berkembanglah industri, karena antara keduanya terjalin hubungan yang erat. Industri-industri yang  kompleks dan beraneka ragam itu membutuhkan banyak pengetahuan, skills, latihan dan pengalaman. Oleh karena itu individu-individu yang bergerak di bidang ini harus memiliki spesialisasi. Menurut Ibn Khaldun kegiatan perindustrian ini membutuhkan bakat praktis dan ilmu pengetahuan”.
Ibn Khaldun mengklasifikasikan industri menjadi dua, pertama, industri yang memenuhi kebutuhan manusia, baik yang primer  maupun yang skunder, dan kedua industri yang khusus bergerak di bidang ide/pemikiran, seperti “penulisan naskah buku-buku, penjilidan buku, profesi sebagai penyanyi, penyusunan puisi, pengajaran ilmu, dan lain-lain sebagainya”. Ibn Khaldun juga memasukkan profesi tentara dalam klasifikasi yang terakhir ini.
Spesialisasi di bidang industri tidak hanya bergerak secara individual, tapi juga bercorak regional atau dengan kata lain ada kawasan tertentu yang memiliki keahlian dalam suatu bidang industri sementara  kawasana lainnya memiliki keahlian dalam industri lainnya sesuai dengan kesiapan masing-masing kawasan.
Teori harga dan Hukum Supply and Demand
Ibnu Khaldun ternyata telah merumuskan teori harga jauh sebelum ekonom Barat modern merumsukannya. Sebagaimana disebut di awal Ibnu Khaldun telah mendahului Adam Smith, Keyneys, Ricardo dan Malthus. Inilah fakta sejarah yang tak terbantahkan.Ibnu Khaldun, dalam bukunya Al-Muqaddimah menulis secara khusus satu bab bab yang berjudul “Harga-harga di Kota”. Menurutnya bila suatu kota berkembang dan populasinya bertambah banyak, rakyatnya semakin makmur, maka permintaan (supply) terhadap barang-barang semakin meningkat, akibatnya harga menjadi naik. Dalam hal ini Ibnu Khaldun menulis:
اان المصر اذا كان مستبحرا موفور العمران كثير حاجة الترف توافرت حينئذ  الدواعى على طلب تلك المرافق والاستكثار منها . كل بحسب حاله  فيقصر الموجود منها  على الحاجة قصورا بالغا ويكثرالمستمان لها وهى قليلة في نفسها فتزدحم أهل الأغراض  ويبذل أهل الرفه والترف  أثمانها باسراف  في الغلاء  لحاجاتهم اليها أكثر من غيرهم فيقع فيها الغلاء  كما تراه
Artinya : Sesungguhnya  apabila sebuah kota telah makmur dan berkembang serta penuh dengan kemewahan, maka di situ  akan timbul permintaan (demand) yang besar terhadap barang-barang. Tiap orang membeli barang-barang mewah itu menurut kesanggupannya. Maka barang-barang menjadi kurang. Jumlah pembeli meningkat, sementara persediaan menjadi sedikit. Sedangkan orang kaya berani membayar dengan harga tinggi untuk barang itu, sebab kebutuhan mereka makin besar. Hal ini akan menyebabkan meningkatnya harga sebagaimana anda lihat.
Di sini Ibnu Khaldun telah menganalisa secara empiris tentang teori supply and demand dalam masyarakat. Dalam kalimat di atas Ibnu Khaldun secara ekspilisit  memformulasikan  tentang hukum supply dan kaitannya dengan harga. Menurutnya apabila sebuah kota berkembang pesat, mengalami kemajuan dan  penduduknya padat, maka persediaan bahan makanan pokok melimpah. Hal ini dapat diartikan penawaran meningkat yang berakibat pada murahnya harga barang pokok tersebut. Inilah makna tulisan Ibnu Khaldun.

فاذا استبحر المصر وكثر ساكنه  رخصت أسعار الضروري  من القوت

Artinya : Apabila sebuah kota berkembang pesat, penduduknya padat, maka harga-harga kebutuhan pokok (berupa makanan) menjadi murah.
Analisa supply and demand Ibnu Khaldun tersebut dalam  ilmu ekonomi modern, diteorikan  sebagai terjadinya  peningkatan disposable incomedari penduduk kota. Naiknya  disposible income (kelebihan pendapatan) dapat menaikkan marginal propersity to consume (kecendrungan marginal untuk mengkonsumsi) terhadap barang-barang mewah dari setiap penduduk kota tersebut. Hal ini menciptakan demand baru atau  peningkatan permintaan terhadap barang-barang mewah. Akibatnya  harga barang-barang mewah akan meningkat pula. Adanya kecendrungan  tersebut  karena terjadi disposable income  penduduk seiring dengan berkembangnya kota.
Inilah teori supply and demand Ibnu Khaldun. Menurutnya, supply bahan pokok di kota besar jauh lebih besar dari pada supply bahan pokok penduduk desa (kota kecil).  Penduduk kota besar memiliki supply bahan pokok yang berlimpah yang melebihi kebutuhannya sehingga harga bahan pokok di kota besar relatif lebih murah. Sementara itu, supplybahan pokok di desa relatif sedikit, karena itu orang-orang khawatir kehabisan  makanan, sehingga harganya relatif lebih mahal.
Upah buruh
Ibnu Khaldun juga telah membahas masalah upah buruh dalam perekonomian.  Ia menybut istilah buruh dengan terminologi shina’ah(pekerjaan di pabrik) sebagaimana dituliskannya dalam Muqaddimah :
ان الصناعة هي ملكة في امر عملي فكري و بكونه عمليا هو جسماني محسوس والا حوال الجسمانية المحسوسة فنقلها بالمباشرة
Pekerjaan (di pabrik/perusahaan) adalah kemampuan  praktis yang berhubungan dengan keahlian (skills). Dikatakan keahlian praktis karena berkaitan dengan kerja fisik material, di mana seorang buruh secara langsung bekerja secara indrawi. Dalam terminologi ekonomi modern, shina’ah  tersebut dikenal dengan istilah employment (ketenaga kerjaan). Orang yang melaukannya disebut employee atau labour (tenaga kerja atau buruh ).
Keungan public
Jelas menekankan pentingnya peranan perusahaan swastadan negara dalam pembangunan ekonomi, baginya negara juga faktor penting dalamproduksi. Melalui pembelanjaannya, negara mampu meningkatkan produksi danmelalui pajaknya mampu melemahkan produksi. Karena pemerintah membangunpasar terbesar untuk barang dan jasa yang merupakan sumber utama bagi semuapembangunan, penurunan dalam belanja negara tidak hanya menyebabkan kegiatanusaha menjadi sepi dan menurunnya keuntungan, tetapi juga mengakibatkanpenurunan dalam penerimaan pajak. Semakin besar belanja pemerintah, kemungkinansemakin baik bagi perekonomian.[4]





BAB III
ANALISIS

Persamaan pemikran Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun
Dalam  Teori keuangan public dan perpajakan, Al-Ghazali memberikan penjelasan yang rinci mengenai peran dan fungsi keuangan publik. Ia memperhatikan kedua sisi anggaran, baik sisi pendapatan maupun sisi pengeluaran. Ia menyarankan agar dalm memanfaatkan pendapatan negara, negara harus bersifat fleksibel yang berlandskan kesejahteraan. Ia juga mengusulkan bahwa jika pengeluaran publik bisa memberikan kebaikan sosial yang lebih banyak, penguasa dapat memumgut pajak baru.Ia mengatakan:
”Seseorang tidak boleh menafikan bolehnya penguasa untuk meminjam dari rakyat bila kebutuhan negara menuntutnya. Namun demikian, pertanyaannya adalah: jika penguasa tidak mengantisipasi pendapatan dalam Baitul Mal yang dapat melebihi apa yang dibutuhkan bagi tentara dan pejabat publik lainnya, maka atas dasar apa dana-dana itu dapat dipinjam?
Penggambaran fungsional dari pengeluaran publik yang direkomendasikan al-Ghazali bersifat agak luas dan longgar, yakni penegakan keadilan sosio-ekonomi, keamanan dan stabilitas negara, serta pengembangan suatu masyarakat yang makmur. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Al-Ghazali mengakui ”konsumsi bersama” dan aspek spill-over dari barang-barang publik. Selain dari apa yang telah diutarakan mengenai bagaimana menciptakan kondisi-kondisi tersebut, dapat dikatakan walaupun memilih pembagian sukarela sebagai suatu cara untuk meningkatkan keadilan sosio-ekonomi, Al-Ghazali membolehkan intervensi negara pilihan bila perlu, untuk mengeliminasi kemiskinan dan kesukaran yang meluas
            Sedangkan Ibnu Khaldun secara jelas menekankan pentingnya peranan perusahaan swastadan negara dalam pembangunan ekonomi, baginya negara juga faktor penting dalamproduksi. Melalui pembelanjaannya, negara mampu meningkatkan produksi danmelalui pajaknya mampu melemahkan produksi. Karena pemerintah membangunpasar terbesar untuk barang dan jasa yang merupakan sumber utama bagi semuapembangunan, penurunan dalam belanja negara tidak hanya menyebabkan kegiatanusaha menjadi sepi dan menurunnya keuntungan, tetapi juga mengakibatkanpenurunan dalam penerimaan pajak. Semakin besar belanja pemerintah, kemungkinansemakin baik bagi perekonomian. Belanja tinggi memungkinkan pemerintah untuk melakukan hal-hal yang dibutuhkan bagi penduduk dan menjamin stabilitas hukum, peraturan dan politik. Tanpa stabilitas peraturan dan politik, produsen tidak mempunyai insentif untuk memproduksi.
Perbedaan pemikran Al-Ghazali dan Ibnu Khaldu
Dari sini terlihat bahwa pemikiran ekonomi Ibnu Khaldun orientasi substanstifnya adalah ”kepada kepentingan bersama masyarakatlah yang diutamakan”. Bahkan untuk tercapainya arah dan tujuan dimaksud, Ibnu Khaldun sangat menekankan terciptanya ”efesiensi sosial”. Artinya bagaimana ekonomi negara bisa dikelola secara bersama dengan baik dan ketepatgunaan yang tinggi sehingga kemakmuran dan kesejahteraan dalam arti yang sesungguhnya.
Pemikiran sosio ekonomi Al-Ghazali berakar dari sebuah konsep yang dia sebut sebagai “fungsi kesejahteraan sosial”.[8]Dari konsep ini kemudian lahirlah istilah masalih (utilitas, manfaat) danmafasid (disutilitas, kerusakan) dalam meningktakan kesejahteraan sosial. Menurut Al-Ghazali, kesejahteraan suatu masyarakat hanya akan terwujud jika memelihara lima tujuan dasar, yaitu agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Melalui kelima tujuan dasar ini, dia kemudian membagi tiga tingkatan utilitas individu dan sosial, yakni daruriat (kebutuhan), hajiat (kesenangan), dan tahsinat(kemewahan). Selain itu, Al-Ghazali melihat perkembangan ekonomi sebagai bagian dari tugas-tugas kewajiban sosial (fard al-kifayah) yang sudah ditetapkan Allah : jika hal-hal ini tidak dipenuhi, kehidupan duia akan runtuh dan kemanusia akan binasa.
Namun demikian, Al-Ghazali menyadari bahwa kebutuhan-kebutuhan dasar ini demikian cenderung fleksibel mengikuti waktu dan tempat dan dapat mencakup bahkan kebutuhan-kebutuhan sosiopskologis.



BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Ibnu khaldun kita bisa memetik bahwa jauh sebelum Adam smith dan david Ricardo mengemukakan teori ekonominya, Ibnu kholdun sudah membahas sebelumnya. Baik tentang perdagangan internasional, teori nilai dan kerja, juga pajak. Kiranya sebagai bagian dari ummat islam kita perlu mencontoh apa yang sudah menjadi pemikiran abu al iqtishad ini.
Ibnu Kholdun tidak menilai uang yang banyak merupakan standar kekayaan suatu negara. Baginya standar kekayaan Negara dilihat dari tingkat produktivitas Negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif.  Seperti Al Ghazali melihat uang, uang tidak harus dari emas dan perak. Namun uang yang beredar harus mempunyai cadangan emas/ perak (back up) dimana pemerintah menetapkan satandar satuannya.
Sejarah mencatat bahwa banyak ekonom muslim yang memberikan kontribusi terhadap kelangsungan dan perkembangan pemikiran ekonomi pada khususnya dan peradaban dunia pada umumnya. Di antaranya adalah Al-Ghazali (1058-1111 M), dan Ibnu Khaldun (1332-1406 M). Menurut mereka bahwa mekanisme harga merupakan proses dari adu kekuatan antara penawaran dan permintaan. Namun demkian, dalam menjawab persoalan tingginya harga cabai di berbagai daerah Indonesia, mereka beranggapan bahwa harga yang terlalu tinggi merupakan sikap dharar yang merugikan, terutama bagi konsumen. Sehingga dalam hal ini pemegang kebijakan ekonomi, pemerintah untuk pro aktif dalam menyelesaikan persoalanya tingginya harga cabai ini, baik menindak pelaku distorsi pasar jika terdapat ketidakadilan, ataupun memberikan bantuan, terutama bagi petani jika faktor utama penyebab tingginya harga adalah alam, lantaran tinggi intensitas curah hujan.




DAFTAR PUSTAKA

Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Makro Islami,  Jakarta: PT Raja Grafindo,2010 
















           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar